contoh bank pembiayaan rakyat syariah
Dengan94% sisanya hasil kontribusi oleh perbankan konvensional. Ketertinggalan bank syariah ini memiliki berbagai alasan, Menurut Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin salah satu penyebabnya yaitu literasi dan pemahaman masyarakat yang masih rendah terhadap perbankan Syariah. Literasi dan kesadaran masyarakat terkait ajaran syariah ataupun sistem yang
TujuanBank Syariah. Bank syariah mempunyai beberapa tujuan di antaranya sebagai berikut: 1). Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalat secara Islam. khususnya muamalat yang berhubungan dengan perbankan, agar terhindar dari praktek-praktek riba atau jenis-jenis usaha atau perdaganangan lain yang mengandung unsure gharar (tipuan), di
BankSyariah Mega, Bank Bukopin Syariah dan lain-lain. Kehadiran bank syariah ternyata tidak dilakukan oleh hanya masyarakat Muslim, tetapi juga bank milik non-muslim. Saat ini perbankan Islam sudah tersebar di beberapa negara Muslim dan Non Muslim (Kasmir, 2010). Sebagai contoh, jumlah bank pembiayaan rakyat syariah meningkat
BankPembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), yaitu jenis bank syariah yang dalam kegiatan usahanya tidak memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Jadi, dari dua jenis bank syariah tersebut dapat dilihat perbedaannya yang terletak pada penyediaan jasa lalu lintas pembayaran di mana BUS menyediakannya sedangkan BPRS tidak. Kegiatan Usaha Bank Syariah
bankpembiayaan rakyat syariah pt syariat fajar sejahtera bali pt bangka pt harta insan karimah pt baitul muawanah pt attaqwa garuda utama pt wakalumi pt mulia berkah abadi pt berkah ramadhan pd cilegon mandiri pt musyawarah ummat indonesia pt muamalat harkat pt safir bengkulu pt margirizki bahagia pt bangun drajat warga pt amanah rabbaniah pt
mở bài nghị luận xã hội học sinh giỏi. Bank Syariah – Apa yang dimaksud dengan bank syariah? Apa pengertian dari bank konvensional dan bank syariah? Apa tugas dari bank syariah? Apa saja prinsip prinsip bank syariah? Agar lebih memahaminya, kali ini kita akan membahas materi bank syariah mulai dari pengertian bank syariah menurut para ahli, sejarah, ciri, tujuan, fungsi, jenis, contoh dan produk bank syariah secara lengkap. Baca Juga Pengertian Bank Pengertian bank syariah adalah jenis bank yang dalam operasionalnya harus berdasarkan pada praktek usaha yang dilakukan pada zaman Rasulullah Saw, bentuk usaha yang sudah ada sebelumnya tapi tidak dilarang Rasul atau bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad para ulama yang tidak menyimpang dari Al-Qur’an juga Al-Hadist. Definisi perbankan syariah atau perbankan islam ialah sistem perbankan dengan hukum islam dalam pelaksanaannya. UU No. 10 Tahun 1998 Pengertian bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan berdasar prinsip syariah dan berdasarkan jenisnya terdiri atas bank umum syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah. Ensiklopedi Islam Definisi bank islam yaitu lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoprasiannya disesuaikan dengan prinsip syariah islam. Drs. H. Karnaen Perwata Atmadja Bank Islam merupakan bank yang beroperasi sesuai denan syariah islam yang tata cara operasionalnya mengacu pada ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits. M. Syafe’i Antonio dan Perwataatmadja Bank Syariah dapat diartikan sebagai bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah islam dan tata caranya mengacu kepada ketentuan Al-Qur’an dan Hadits. Sudarsono Pengartian bank syariah iyalah lembaga keuangan yang memberikan kredit dan jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi dengan prinsip syariah. Siamat Dahlan Arti bank syariah adalah bank yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Schaik Bank Syariah dapat didefinisikan sebagai bentuk bank modern yang berdasarkan pada hukum islam, dikembangkan pada abad pertengahan Islam, memakai konsep bagi risiko sebagai sebagai metode utama dan meniadakan sistem keuangan berdasarkan kepastian dan keuangan yang sudah ditentukan sebelumnya. Baca Juga Pengertian Sumber Dana Bank Sejarah Bank Syariah Pada zaman Rasulullah Saw, bank merupakan lembaga yang memiliki tiga fungsi utama yaitu menyimpankan, mengirimkan dan meminjamkan uang. Pembiayaan dengan akad sesuai syariah sudah menjadi tradisi bagi umat islam sejak zaman Rasullullah. Hal tersebut dipraktekan dengan adanya penitipan harta, peminjaman uang untuk kebutuhan konsumsi dan bisnis, juga mengirim uang. Ide mengenai pendirian bank syariah di tingkat internasional secara kolektif muncul dalam konferensi negara islam seluruh dunia yang diadakan di Kuala Lumpur, Malaysia pada 21-27 April 1969 yang dihadiri 19 negara termasuk Indonesia. Keputusan konferensi tersebut, antara lain Setiap keuntungan harus berdasarkan hukum laba dan rugi, jika tidak maka hal itu adalah riba baik sedikit atau banyak hukumnya haram. Bank Islam bersih dari sistem riba secepatnya. Namun sebelum bank islam sebelsai didirikan maka bank yang masih menerapkan bunga boleh beroperasi tapi jika dalam keadaan darurat. Dalam ilmu fiqih, bunga termasuk riba yang berarti dengan adanya bunga adalah haram. Kemudian sejumlah negara Islam yang mayortas penduduknya beragama islam mulai memikirkan ide pendirian lembaga bank yang tidak ada unsur riba. Sekitar pertengahan tahun 1940-an, bank pertama tanpa bunga pertama kali berdiri di Malaysiaa. Kemudian pada akhir tahun 1950-an, Pakistan mendirikan lembaga perkreditan tanpa bunga di desa-desa. Pada tahun 1963, mesir mendirikan bank syariah bernama Mitt Ghamr Local Saving Bank dan ini mengalami kesuksesan besar. Bank syariah pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1991 dan mulai beroprasi secara resmi pada tahun 1992. Sebenarnya, ide mengenai bank islam telah dilakukan sejak dasawarsa 1970an. Dawam Raharjo berpendapat bahwa yang menghalangi hal tersebut terwujud adalah faktor politik yang beranggapan bahwa pendirian bank Islam merupakan bagian dari cita-cita pendirian Negara Islam. Semenjak tahun 2000an, setelah bank syariah terbukti unggul jika dibandingkan bank konvensional diantaranya ketika bank syariah mulai menyebar di Indonesia, bank konvensional mulai merasakan imbasnya kemudian mereka meminta bantuan likuiditas dari bank Indonesia, sementara bank muamalat tak butuh suntikan dana tersebut. Ciri-Ciri Bank Syariah Berikut ini ciri atau karakteristik bank syariah, diantaranya yaitu Kesepakatan beban biaya dalam waktu akad perjanjian diwujudkan dalam jumlah nominal yang besarnya tak kaku dan bisa ditawarkan dalam batas wajar. Pemakaian prosentase dalam kewajiban untuk membayar selalu dihindarkan. Dalam kontrak pembiayaan proyek bank tidak menetapkan perhitungan berdasarkan keuntungan pasti. Pengarahan dana masyarakat dalam bentuk deposito atau tabungan dianggap sebagai titipan sedangkan bagi bank dianggap sebagai titipkan yang diamanatkan sebagai pernyataan dana pada proyek yang dibiayai bank sesuai dengan prinsip syariah hingga penyimpan tidak dijanjikan imbalan yang pasti. Terdapat dewan syariah yang bertugas mengawasi bank berdasarkan syariah. Selalu memakai istilah bahasa arab yang terdapat dalam fiqih islam. Terdapat produk khusus yakni pembiayaan tanpa beban murni yang bersifat sosial dimana nasabah tidak wajib mengembalikan pembiayaan al-qordul hasal Terdapat larangan kegiatan usaha tertentu. Kegiatan usaha lebih beragam dibanding bank konvensional. Hubungan bank dan nasabah berupa hubungan akad kontrak antara investor shohibul maal dan pengelola dana Mudharib yang produktif dan pembagian keuntungan dilakukan secara adil. Tujuan Bank Syariah Berdasarkan pendapat Handbook of Islamic Banking, tujuan perbankan islam yaitu menyediakan fasilitas keuangan dengan cara mengupayakan instrumen keuangan yang sesuai dengan ketentuan dan norma syari’ah. Perbedaab bank syariah dan bank konvensional, bank konvensional bertujuanmendapatkan keuntungan secara maksimal dengan bunga, sedangkan tujuan bank syariah adalah untuk memberi keuntungan sosial ekonomi bagi orang muslim tanpa bunga. Fungsi dan Wewenang Bank Syariah Adapun fungsi bank syariah, diantaranya Sebagai Penghimpun Dana Tak berbeda dengan bank konvensional, fungsi bank syariah yaitu penghimpun dana dari masyarakat, perbedaannya jika nasabah bank konvensional akan memperoleh balas jasa berupa bunga sedangkan nasabah bank syariah akan mendapatkan balas jasa berupa bagi hasil. Sebagai Penyalur Dana Dana yang telah terhimpun dari nasabah, nantinya akan disalurkan ke nasabah lain menggunakan sitem bagi hasil. Baca Juga Pengertian Emiten Memberi Pelayanan Jasa Bank Dalam memberi pelayanan, fungsi bank syariah diantaranya sebagai pemberi layanan jasa seperti jasa transfer, pemindahan bukuan, jasa tarikan tunai dan jasa perbankan lainnya. Sedangkan wewenang bank syariah, yaitu dapat menetapkan fatwa dibidang syariah. Prinsip Bank Syariah Berikut ini prinsip-prinsip bank syariah dalam operasionalnya, diantaranya yaitu Pembiayaan berdasarkan prinsip mudharabah atau bagi hasil, yakni perjanjian kerjasama antara pemodal dengan pengelola modal dimana pembagian keuntungan dilakukan sesuai ketentuan bersama dan kerugian menjadi tanggung jawab pemodal selama itu bukan kelalaian pihak pengelola bank. Pembiayaan berdasarkan musyarakah atau penyertaan modal, yang artinya dalam hal ini setiap pihak berhak mendapatkan keuntungan sesuai modal yang dikeluarkan. Prinsip murabahah atau jual-beli barang dengan mendapatkan keuntungan, yaitu ada kesepakatan antara pihak nasabah dan pihak bank dimana pihak bank membeli barang yang diperlukan nasabah lalu menjualnya kepada nasabah dengan penambahan keuntungan sesuai kesepakatan awal. Pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip ijarah atau sewa murni tanpa pilihan, yakni kesepakatan atas hak guna terhadap ojek atau jasa dengan biaya sewa tanpa pemindahan kepemilikan ojek itu. Pembiayaan dengan prinsip ijarah wa iqtina atau kepemilikan kepemilikan atas barang yang disewa pihak nasabah dari pihak bank, yaitu sebuah kesepakatan pemintahan hak guna atas ojek yang terdapat pembayaran sewa beli dengan pemindahantangan ojek tersebut pada waktu yang ditentukan. Jenis Bank Syariah Terdapat 3 jenis bank syariah Berdasarkan prinsip kerjanya, diantaranya yaitu Bank Umum Syariah Bank Umum Syariah BUS merupakan jenis bank syariah yang dalam kegiatan usahanya memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Contoh bank umum syariah diantaranya PT. Bank Muamalat Indonesia. PT. Bank Mandiri Syariah. PT. Bank BRI Syariah. PT. Bank BNI Syariah. Dan lain sebagainya. Unit Usaha Syariah Unit Usaha Syariah merupakan unit kerja dari bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dan unit kantor cabang yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Contoh unit usaha syariahm diantaranya PT. Bank Tabungan Negara BTN PT. Bank CIMB Niaga PT. Bank Danamon Indonesia Dan lain sebagainya. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah merupakan jenis bank syariah yang kegiatannya tak menghimpun dana masyarakat dalam bentuk giro, sehingga tidak bisa mengeluarkan cek dan bilyet giro. Contoh bank pembiayaan rakyat syariah diantaranya PT BPRS Amanah Rabbaniah PT BPRS Buana Mitra Perwira Dan lain sebagainya. Baca Juga Pengertian Sukuk Sampai saat ini, ada 11 Bank Umum Syariah, 23 Unit Usaha Syariah, dan 163 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Produk Bank Syariah Ada 3 jenis produk perbankan syariah yang diberikan terhadap nasabah, diantaranya Produk Penyaluran Dana Prinsip yang diterapkan dalam produk penyaluran dana, diantaranya Prinsip Jual Beli Ba’i Dalam prinsip ini, jual beli dilakukan akibat adanya pemindahan kepemilikan barang. Keuntungan bank termasuk harga yang dijual disebutkan didepan. Terdapat tiga jenis jual beli dalam pembiayaan modal kerja dan investasi bank syariah, antara lain Ba’i Al Murabahah, yaitu jual beli dengan harga asal ditambah keuntungan yang disepakati antara nasabah dan bank. Bank menyebutkan harga barang kepada nasabah lalu bank membagi keuntungan dalam jumlah tertentu sesuai kesepakatan bersama. Ba’i Assalam yaitu nasabah sebagai pembeli dan pemesan memberi uang di tempat akad sesuai dengan harga barang yang dipesan dan sifat barang sudah disebutkan sebelumnya. Uang yang tadi diserahkan menjadi tanggungan bank sebagai penerima pesanan dan pembayaran dilakukan dengan segera. Ba’i Al Istishna yaitu bagian Ba’i Asslam tapi ini umumnya dipakai dalam bidang manufaktur dengan ketentuan yang sama namun pembayaran dapat dilakukan beberapa kali. Prinsip Sewa Ijarah Ijarah yaitu kesepakatan pemindahan hak guna atas barang atau jasa lewat sewa tanpa diikuti pemindahan kepemilikan atas barang yang disewakan. Bank akan menyewakan peralatan kepada nasabah dengan biaya sesuai kesepakatan bersama. Prinsip Bagi Hasil Syirkah Ada 2 jenis produk dalam prinsip bagi hasil, antara lain Musyarakah, yakni suatu produk bank syariah dimana ada dua atau lebih pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan aset milik bersama dimana semua pihak membaurkan sumber daya yang dimiliki baik yang berwujud maupun tak berwujud. Semua pihak yang terlibat berkontribusi baik dalam berupa dana, barang, kemampuan, maupun aset lainnya. Ketentuan dalam musyarakah yaitu pemilik modal berhak dalam menetukan kebijakan usaha yang dijalankan pelaksana proyek. Mudharabah yakni produk bank syariah dimana dua atau lebih orang bekerjasama lalu pemodal mempercayakan modalnya untuk dikelola pengelola dengan sistem bagi hasil. Baca Juga Pengertian Pasar Modal Syariah Perbedaan umum musyarakah dengan mudharabah adalah kontribusi terhadap manajemen dan keuangan pada musyarakah diberikan dan dimiliki dua atau lebih pihak, sedangkan mudharabah hanya dimiliki satu pihak saja. Produk Penghimpun Dana Produk penghimpunan dana bank syariah diantaranya giro, tabungan dan deposito. Dalam menghimpun dana, bank syariah menerapkan prinsip seperti Prinsip Wadiah Dalam prinsip wadiah dengan adl wadiah yad dhamanah diterapkan pada rekaning produk giro, dimana pihak pengelola diberi tanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga boleh memanfaatkannya. Prinsip Mudharabah Dalam prinsip mudharabah, peran nasabah yaitu sebagai pemilik modal sedangkan bank berperan sebagai pengelola modal dari nasabah. Dana yang tersimpan oleh bank dipakai untuk melakukan pembiayaan tapi jika mengalami kerugian maka mereka harus bertanggungjawab. Berdasarkan kewenangan yang diberikan nasabah, ada 3 prinsip mudharabah diantaranya Mudharabah mutlaqah yakni prinsip yang bisa berupa tabungan dan deposito, sehingga terdapat dua jenis yakni tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Bank dapat menggunakan dana yang terhimpun tanpa ada batasan. Mudharabah muqayyadah on balance sheet yakni jenis simpanan khusus dan nasabah dapat memutuskan syarat khusus yang harus dipenuhi pihak bank, misalnya untuk bisnis atau akad tertentu. Mudharabah muqayyadah off balance sheet yakni penyaluran dana dari pemilik dana pada pelaksana usaha secara langsung dan bank sebagai perantaranya. Pelaksana usaha juga biasa mengajukan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi bank untuk menentukan jenis usaha dan pelaksana usahanya. Produk Jasa Perbankan Selain menghimpun dan menyalurkan dana, bank juga memberikan jasa pada nasabah dengan mendapatkan imbalan berupa sewa atau keuntungan, jasa tersebut antara lain Sharf yaitu jual beli mata uang yang tidak sejenis tapi harus dilakukan pada waktu yang sama . Bank mengambil keuntungan dari jasa jual beli tersebut. Ijarah yaitu kegiatan memberikan sewa simpanan dan jasa tata laksana administrasi dokumen, kemudian bank akan memperoleh imbalan sewa atas jasa tersebut. Baca Juga Pengertian Saham Demikian artikel pembahasan tentang pengertian bank syariah menurut para ahli, sejarah, ciri, tujuan, fungsi, jenis, contoh dan produk bank syariah secara lengkap. Semoga bermanfaat
Hot news >> Sebagai salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, potensi perbankan syariah di Indonesia sangat besar. Itulah alasan kenapa materi bank syariah ini sangat penting dan menarik untuk dipelajari sehingga kamu juga memiliki wawasan yang luas tentang perbankan syariah. Pada artikel ini, kamu akan diberikan penjelasan lengkap, mulai dari pengertian bank syariah, jenis, kegiatan usaha, fungsi, tujuan, prinsip, contoh produk, hingga daftar bank syariah di Indonesia. Baca juga 5 Produk Investasi Syariah Terbaik untuk Pemula Contents1 Apa yang Dimaksud Bank Syariah?2 Jenis Bank Syariah3 Kegiatan Usaha Bank 1. Bank Umum Syariah BUS 2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah BPRS 3. Unit Usaha Syariah UUS4 Fungsi Bank Syariah5 Tujuan Bank Syariah6 Prinsip Bank Syariah7 Contoh Produk Bank Syariah8 Contoh Bank Syariah9 Simpulan10 Referensi Apa yang Dimaksud Bank Syariah? Definisi bank syariah telah banyak diungkapkan termasuk menurut para ahli dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Mengacu pada Undang-Undang UU Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, maka yang dimaksud dengan perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah UUS, mencakup di dalamnya kelembagaan, kegiatan usaha/bisnis, serta cara & proses dalam melaksanakan kegiatan usaha. Kemudian, yang dimaksud dengan Bank Syariah adalah suatu bank yang menjalankan kegiatan usaha bisnis berdasarkan prinsip syariah. Sedangkan menurut jenisnya, bank syariah terdiri atas Bank Umum Syariah BUS dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah BPRS. Jenis Bank Syariah Berdasarkan pengertian bank syariah yang telah dijelaskan sebelumnya, diketahui bahwa bank syariah terdiri dari dua jenis, yaitu Bank Umum Syariah BUS dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah BPRS. Bank Umum Syariah BUS, yaitu jenis bank syariah yang dalam kegiatan usahanya memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah BPRS, yaitu jenis bank syariah yang dalam kegiatan usahanya tidak memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Jadi, dari dua jenis bank syariah tersebut dapat dilihat perbedaannya yang terletak pada penyediaan jasa lalu lintas pembayaran di mana BUS menyediakannya sedangkan BPRS tidak. Kegiatan Usaha Bank Syariah Sebelumnya telah dijelaskan bahwa bank syariah dari segi jenisnya terdiri dari BUS dan BPRS. Sedangkan berdasarkan kegiatan usaha bisnis, bank syariah dibedakan menjadi tiga, yaitu Bank Umum Syariah BUS, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah BPRS, dan Unit Usaha Syariah UUS. 1. Bank Umum Syariah BUS Setelah memahami pengertian Bank Umum Syariah BUS, lalu apa saja kegiatan usaha yang dilakukan BUS? Singkatnya, semua kegiatan usaha Bank Umum Syariah harus berlandaskan Prinsip Syariah. Untuk lebih detail, berikut penjabarannya. Menghimpun dana dalam bentuk Simpanan Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya. Investasi Deposito, Tabungan, atu bentuk lainnya. Menyalurkan dana dalam bentuk Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lainnya. Pembiayaan dengan Akad murabahah, salam, istishna’, atau Akad lainnya. Pembiayaan dengan Akad qardh atau Akad lainnya. Penyewaan barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli berbentuk ijarah muntahiya bittamlik atau bentuk Akad lainnya. Melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lainnya. Melakukan bisnis kartu debit dan/atau kartu pembiayaan. Membeli, menjual, atau menjamin sendiri atas risiko surat berharga dari pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata real berdasarkan Prinsip Syariah, seperti menggunakan Akad ijarah, Akad musyarakah, Akad mudharabah, Akad murabahah, Akad kafalah, atau Akad hawalah. Membeli surat berharga efek berdasarkan Prinsip Syariah baik yang diterbitkan oleh pemerintah maupun Bank Indonesia BI. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga efek dan melakukan perhitungan dengan pihak dan/atau antarpihak ketiga. Melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain dengan Akad tertentu. Menyediakan tempat untuk penyimpanan barang dan surat berharga efek. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan Nasabah. Melakukan fungsi sebagai Wali Amanat dengan memakai Akad wakalah. Memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi. Melakukan aktivitas lainnya yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan bidang sosial sepanjang menggunakan Prinsip Syariah dan tunduk pada peraturan perundang-undangan. 2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah BPRS Sebelumnya telah dijelaskan terkait pengertian Bank Pembiayaan Rakyat Syariah BPRS. Selanjutnya, apa saja yang menjadi kegiatan usaha BPRS? Berikut penjelasannya. Menghimpun dana dalam bentuk Simpanan Tabungan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lainnya. Investasi Deposito atau Tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lainnya. Menyalurkan dana dalam bentuk Pembiayaan bagi hasil dengan Akad mudharabah atau Akad musyarakah. Pembiayaan dengan Akad murabahah, salam, atau istishna’. Pembiayaan dengan Akad qardh. Pembiayaan penyewaan barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak dengan menggunakan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik. Pengambilalihan utang dengan Akad hawalah. Menempatkan dana pada Bank Syariah lain dalam bentuk titipan sesuai Akad wadi’ah atau dalam bentuk investasi sesuai Akad mudharabah dan/atau Akad lain. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan Nasabah via rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah BPRS yang ada di Bank Umum Syariah BUS, Bank Umum Konvensional, dan Unit Usaha Syariah UUS. Menyediakan produk dan/atau melakukan bisnis Bank Syariah lainnya yang berlandaskan Prinsip Syariah sesuai ketentuan dan persetujuan Bank Indonesia BI. 3. Unit Usaha Syariah UUS Dalam kegiatan usaha perbankan syariah, juga dikenal Unit Usaha Syariah UUS. Menurut UU Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008, pengertian Unit Usaha Syariah atau UUS adalah suatu unit kerja dari kantor pusat head office Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor unit yang melaksanakan kegiatan usaha sesuai prinsip syariah atau unit kerja di kantor cabang branch office dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu KCP syariah dan/atau unit syariah. Lalu, apa saja kegiatan usaha Unit Usaha Syariah UUS? Menghimpun dana dalam bentuk Simpanan Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya. Investasi Deposito, Tabungan, atu bentuk lainnya. Menyalurkan dana dalam bentuk Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lainnya. Pembiayaan dengan Akad murabahah, salam, istishna’, atau Akad lainnya. Pembiayaan dengan Akad qardh atau Akad lainnya. Penyewaan barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli berbentuk ijarah muntahiya bittamlik atau bentuk Akad lainnya. Melakukan pengambilalihan utang dengan menggunakan Akad hawalah atau Akad lain. Melakukan kegiatan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan. Membeli dan menjual surat berharga efek pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata real sesuai Prinsip Syariah, seperti menggunakan Akad ijarah, Akad musyarakah, Akad mudharabah, Akad murabahah, Akad kafalah, atau Akad hawalah. Membeli surat berharga efek yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia yang berlandaskan Prinsip Syariah. Menerima pembayaran payment dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan bersama dengan pihak ketiga dan/atau antarpihak ketiga yang berdasarkan Prinsip Syariah. Apa fungsi bank syariah? Masih mengacu pada Undang-Undang UU Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 pasal 4, Bank Syariah BUS dan BPRS dan Unit Usaha Syariah UUS menjalankan fungsi sebagai berikut Wajib menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Dapat menjalankan fungsi sosial yang disalurkan dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima uang/dana dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lain, serta menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang serta menyalurkannya kepada nazhir atau pengelola wakaf sesuai dengan kehendak pemberi wakaf wakif. Pelaksanaan fungsi sosial seperti yang tertera pada ayat 2 dan ayat 3 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tujuan Bank Syariah Setelah memahami fungsinya, lalu apa tujuan bank syariah? Berdasarkan Undang-Undang UU Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 pasal 3, perbankan syariah memiliki tujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional negara untuk meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan masyarakat rakyat. Prinsip Bank Syariah Sebenarnya prinsip bank syariah hampir sama dengan lembaga keuangan syariah lainnya. Ya, bank syariah pasti menggunakan Prinsip Syariah dalam kegiatan usahanya. Menurut Undang-Undang UU Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 pasal 1, yang dimaksud dengan Prinsip Syariah adalah suatu prinsip hukum Islam dalam aktivitas perbankan, dengan berlandaskan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga berwenang dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Contoh Produk Bank Syariah Pada awalnya, Majelis Ulama Indonesia MUI bersama dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia ICMI melakukan kerja sama dengan pemerintah Indonesia dan pengusaha Muslim untuk membentuk bank syariah di Indonesia, tepatnya pada 1991. Bank syariah pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat, sehingga Bank Muamalat dijadikan sebagai pelopor bank syariah di Indonesia, dan melakukan kegiatan operasional pada 1 Mei 1992. Dengan perkembangan zaman, produk bank syariah hingga saat ini terus mengalami perkembangan. Setidaknya, ada tiga jenis produk utama bank syariah, yaitu Penghimpunan Dana Simpanan Wadiah, seperti Giro Yad Dhamanah dan Tabungan Investasi Mudharabah, seperti Tabungan dan Deposito Penyaluran Dana Equity Financing Kerja Sama Sistem Bagi Hasil dengan akad Mudharabah penanaman modal dari pemilik dana kepada pengelola dana untuk bisnis tertentu, dengan sistem perjanjian Muthlaqah Tidak Bersyarat dan Muqayyadah Bersyarat Musyarakah usaha kemitraan dari dua pihak atau lebih Debt Financing Kerja Sama Sistem Jual Beli dengan akad Murabahah antar bank dengan nasabah Salam barang pesanan dengan pengiriman di kemudian hari Istishna barang pesanan dengan spesifikasi tertentu Layanan Jasa Perbankan Wakalah melibatkan pemberi kuasa dengan penerima kuasa, seperti transfer uang, penagihan utang melalui kliring atau inkaso cek, giro, wesel, dan lainnya Kafalah pemberian jaminan kepada penerima jaminan di mana penjamin bertanggung jawab sepenuhnya kepada penerima jaminan Hawalah pengalihan utang dari suatu pihak ke pihak lain yang menanggungnya Rahn penyerahan barang aset dari nasabah kepada bank sebagai jaminan untuk utang Qardh akad pinjaman kepada nasabah yang kemudian bertanggung jawab untuk mengembalikan dana yang dipinjam pada waktu yang disepakati Sharf terkait transaksi jual beli valuta asing valas dengan kesepakatan harga tertentu Contoh Bank Syariah Ada banyak sekali bank syariah di Indonesia, baik bank syariah yang berstatus perusahaan privat tertutup maupun bank syariah yang berstatus perusahaan terbuka tbk atau go public dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia BEI. Nah, contoh bank syariah di Indonesia yaitu sebagai berikut PT Bank Muamalat Tbk PT Bank BRI Syariah Tbk PT Bank BTPN Syariah Tbk PT Bank Panin Dubai Syariah Tbk PT Bank BCA Syariah PT Bank Syariah Mandiri PT Bank BNI Syariah PT Bank Mega Syariah PT Bank Syariah Bukopin PT Bank BJB Syariah Simpulan Itulah materi atau penjelasan lengkap tentang bank syariah, mulai dari pengertian bank syariah, jenis-jenis bank syariah, kegiatan usaha, fungsi, tujuan, prinsip, contoh produk/instrumen, dan contoh bank syariah di Indonesia. Semoga informasi tentang bank syariah ini bisa menambah wawasan dan menjadi referensi. Jika bermanfaat, mohon share artikel ini, ya. Terima kasih. Referensi Penting Mohon mencantumkan sumber jika mengutip sebagian atau seluruh isi artikel. Tag materi bank syariah pengertian, jenis, kegiatan usaha, fungsi, tujuan, manfaat, prinsip, contoh produk dan instrumen, dan contoh bank syariah di Indonesia. Hot news >>
SYARIAHPEDIA - Salah satu jenis lembaga keuangan syariah yang khas Indonesia adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah alias BPRS. Kelembagaan semacam BPRS tidak akan ditemui di negara lain. BPRS merupakan salah satu jenis bank syariah. Dalam UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dijelaskan Bank syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri dari Bank Umum Syariah BUS dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah BPRS BPRS adalah salah satu jenis bank syariah yang dalam kegiatannya tidak dapat memberikan jasa lalu lintas pembayaran antar bank yang berbeda. Perbedaan BPRS dengan BUS dan UUS ada pada ruang lingkup kegiatan usaha, dimana BPRS lebih sempit kegiatan usahanya baik. Badan Hukum BPRS hanya diperbolehkan berbentuk Perseroan Terbatas PT. BPRS dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia, badan hukum, atau pemerintah daerah. BPRS termasuk ciri khas dari perbankan syariah di Indonesia, sebab tidak akan ditemukan di negara lain. BPRS merupakan perintis lahirnya perbankan syariah di Indonesia, sebab BPRS lahir mendahului BUS dan UUS. BPRS pertama kali berdiri adalah BPRS Dana Mardhatillah, BPRS Berkah Amal, dan BPRS Amanah Rabbaniyah. Ketiga BPRS tersebut berkedudukan di wilayah Bandung, Jawa Barat. Mendapat izin prinsip pada 8 Oktober 1990 dari Kementerian Keuangan dan mulai beroperasi pada tanggal 19 Agustus 1991. Hingga akhir tahun 2017 tercatat BPRS yang beroperasi berjumlah 167 bank dengan jumlah kantor mencapai 441 yang tersebar diseluruh provinsi di Indonesia. Dari sisi keuangan, pada tahun 2017 jumlah aset BPRS sebesar 10,8 triliun rupiah, Pembiayaan yang disalurkan 7,7 triliun rupiah, dan DPK yang terhimpun 6,9 trilun rupiah. Market share 9 % terhadap perbankan syariah nasional. Landasan Hukum Landasan hukum pendirian BPRS mengacu pada beberapa regulasi berikut ini Undang - Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah POJK No. 3 / Tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah POJK No. 62/ tentang Transformasi Lembaga Keuangan Mikro Konvensional Menjadi Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah Menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Kegiatan Usaha Kegiatan usaha yang dijalankan oleh BPRS hampir sama dengan kegiatan usaha perbankan syariah pada umumnya, namun dengan ruang lingkup yang lebih kecil dari BUS dan UUS. Kegiatan usaha BPRS meliputi a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan berupa Tabungan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; dan Investasi berupa Deposito atau Tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. Menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah atau musyarakah; Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, salam, atau istishna’; Pembiayaan berdasarkan Akad qardh; Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; dan Pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah; c. Menempatkan dana pada Bank Syariah lain dalam bentuk titipan berdasarkan Akad wadi’ah atau Investasi berdasarkan Akad mudharabah dan/atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; d. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS; e. Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah lainnya yang sesuai dengan Prinsip Syariah berdasarkan persetujuan Bank Indonesia. Kegiatan Usaha Yang Dilarang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dilarang melakukan kegiatan berikut ini Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah; Menerima Simpanan berupa Giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran; Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang asing dengan izin Bank Indonesia; Melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah; Melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; Pendirian BPR Syariah Pendirian BPRS harus berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas PT dan dapat melakukan kegiatan usaha setelah mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan OJK. BPRS hanya boleh didirikan dan dimiliki oleh a. Warga negara Indonesia b. Badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia dan telah beroperasi paling singkat selama 2 tahun. c. Pemerintah daerah d. Pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam poin a,b,dan c. Besaran modal disetor yang diperlukan untuk mendirikan BPRS ditentukan berdasarkan zona. Pembagian zona ditentukan berdasarkan potensi ekonomi wilayah dan tingkat persaingan lembaga keuangan di wilayah kabupaten atau kota yang bersangkutan. Ketentuannya sebagai berikut a. dua belas milyar rupiah, bagi BPRS yang didirikan di zona 1 b. tujuh milyar rupiah, bagi BPRS yang didirikan di zona 2; c. lima milyar rupiah, bagi BPRS yang didirikan di zona 3; dan d. tiga milyar lima ratus juta rupiah, bagi BPRS yang didirikan di zona 4. Modal disetor harus ditempatkan dalam bentuk deposito di Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah di Indonesia atas nama “Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan nama calon PSP BPRS” dengan keterangan untuk pendirian BPRS yang bersangkutan dan pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. Penempatan modal disetor dalam bentuk deposito dapat dilakukan secara bertahap a. Paling sedikit 50% lima puluh persen dari modal disetor sebelum pengajuan permohonan persetujuan prinsip pendirian BPRS; b. Kekurangan dari modal disetor, disetorkan sebelum pengajuan permohonan izin usaha pendirian BPRS. Perizinan BPR Syariah Izin usaha BPRS dilakukan dengan 2 tahapan yaitu persetujuan prinsip dan izin usaha. 1. Persetujuan Prinsip Persetujuan prinsip adalah persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian BPRS. Permohonan persetujuan prinsip pendirian BPRS diajukan paling sedikit oleh satu calon PSP BPRS kepada Dewan Komisioner OJK disertai dengan antara lain a. Rancangan akta pendirian badan hukum Perseroan Terbatas PT, termasuk rancangan anggaran dasar; b. Daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham; c. Daftar calon anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota DPS disertai dengan dokumen pendukung lainnya d. Rencana struktur organisasi dan jumlah personalia; e. Analisis potensi dan kelayakan pendirian BPRS; f. Rencana sistem dan prosedur kerja; g. Rencana bisnis; h. Bukti setoran modal paling sedikit 50% lima puluh persen dari modal disetor minimum. i. Surat pernyataan dari calon pemegang saham BPRS, bahwa setoran modal sebagaimana dimaksud pada huruf h tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari Bank dan/atau pihak lain; dan/atau tidak berasal dari dan untuk pencucian uang money laundering. Dalam hal calon pemegang saham BPRS adalah Pemerintah Daerah, surat pernyataan dapat digantikan oleh Surat Keputusan Kepala Daerah; j. Daftar BPRS dan/atau lembaga keuangan lain yang dimiliki oleh calon PSP BPRS, disertai dengan laporan keuangan setiap BPRS atau lembaga keuangan lain yang dimiliki oleh calon PSP k. Bukti lunas pembayaran biaya perizinan dalam rangka pendirian BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan. 2. Izin Usaha Izin usaha adalah izin untuk melakukan kegiatan usaha BPRS setelah persiapan prinsip selesai dilakukan. Pihak yang telah mendapatkan persetujuan prinsip mengajukan izin usaha BPRS kepada Dewan Komisioner OJK dengan melampirkan, antara lain a. akta pendirian badan hukum Perseroan Terbatas PT, yang memuat anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang; b. daftar pemegang saham dalam hal terjadi perubahan pemegang saham; c. daftar calon anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota DPS d. bukti pelunasan modal disetor minimum dan e. bukti kesiapan operasional, mencakup paling sedikit struktur organisasi termasuk susunan personalia sistem dan prosedur kerja; daftar aset tetap dan inventaris; bukti penguasaan gedung kantor berupa bukti kepemilikan atau perjanjian sewa-menyewa gedung kantor yang didukung dengan bukti kepemilikan dari pihak yang menyewakan; foto gedung kantor dan tata letak ruangan; contoh formulir atau warkat yang akan digunakan untuk operasional BPRS; dan Nomor Pokok Wajib Pajak NPWP. Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip/permohonan izin usaha paling lambat 40 empat puluh hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. BPRS yang telah mendapat izin usaha dari OJK wajib mencantumkan secara jelas frasa “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah” atau “BPR Syariah” atau “BPRS” pada penulisan namanya dan logo iB pada kantor BPRS yang bersangkutan. Referensi Undang - Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah POJK No. 3 / Tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Roadmap Keuangan Syariah 2017-2019, OJK SPS Desember 2017, OJK
RumahCom – Bank Pembiayaan Rakyat Syariah BPRS merupakan salah satu lembaga keuangan yang memiliki potensi besar untuk semakin berkembang. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah atau BPRS adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu-lintas pembayaran. Sama seperti BPR konvensional, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah kegiatannya jauh lebih sempit dibandingkan kegiatan bank umum. Ini dikarenakan BPRS dilarang menerima simpanan giro, kegiatan valas, dan perasuransian. Berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka pengaturan dan pengawasan terhadap BPRS dilaksanakan oleh OJK. BPR Syariah didirikan berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintah PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Awalnya, BPRS lebih dikenal sebagai singkatan dari Bank Perkreditan Rakyat Syariah, barulah setelah adanya UU No. 21 Tahun 2008 terjadi perubahan dari Bank Perkreditan Rakyat Syariah menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Tujuan pendirian BPRS adalah meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam, menambah lapangan kerja baru, memberikan manfaat dan kebaikan bagi orang yang membutuhkan serta membina semangat ukhuwah Islamiah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka meningkatkan pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang memadai. Oleh karenanya, BPRS didesain khusus dengan jaringan tertentu dan fungsi yang terbatas tidak seperti bank umum. Apa Itu Bank Pembiayaan Rakyat Syariah?Pendiri dan Pemilik Bank Pembiayaan Rakyat SyariahKegiatan Usaha Bank Pembiayaan Rakyat SyariahHal yang Dilarang Dilakukan Bank Pembiayaan Rakyat SyariahSejarah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Apa Itu Bank Pembiayaan Rakyat Syariah? Jenis produk yang ditawarkan oleh BPRS relatif sempit jika dibandingkan dengan bank umum. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. BPRS merupakan bank yang khusus melayani masyarakat kecil terutama yang berada di kecamatan dan pedesaan. Jenis produk yang ditawarkan oleh BPRS relatif sempit jika dibandingkan dengan bank umum. Seperti yang telah dijelaskan di atas beberapa jenis jasa bank yang tidak boleh diselenggarakan oleh BPRS, seperti pembukaan rekening giro dan ikut kliring. Pendirian BPRS diharapkan menjadi suatu lembaga perbankan andalan dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat menengah di masing-masing daerah yang memiliki karakteristik dan kondisi regional yang berbeda-beda. BPRS pada umumnya belum terjangkau oleh bank umum khususnya masyarakat yang tinggal di pedesaan. Dengan demikian, BPRS sangat dibutuhkan untuk menjadi partner pemerintah dalam mewujudkan pembangunan ekonomi Indonesia khususnya di daerah-daerah pinggiran yang tidak terjangkau bank umum dan diharapkan bisa menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk menjangkau dan memberikan kontribusinya untuk menyejahterakan kehidupan masyarakat mikro. Keberadaan lembaga Bank Pembiayaan Rakyat Syariah memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan bank umum, yaitu BPRS dapat memberikan layanan perbankan dengan proses yang mudah, pencairan pembiayaan dengan cepat, sederhana, dan tidak memerlukan persyaratan yang rumit seperti dalam bank umum kepada masyarakat menengah kebawah khususnya bagi UMKM yang berada di pedesaan maupun perkotaan untuk lebih mengembangkan usahanya. Pendiri dan Pemilik Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Pendirian BPRS didasarkan oleh permohonan oleh calon PSP dengan perubahan izin usaha BUK menjadi izin usaha BPR. Sejumlah ketentuan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan mengharuskan adanya penyesuaian terhadap pengaturan mengenai jenis pendirian dan bentuk badan hukum BPR. Pendirian BPRS didasarkan oleh permohonan oleh calon PSP dengan perubahan izin usaha BUK menjadi izin usaha BPR, serta dengan perubahan izin usaha LKM menjadi izin usaha BPR. Adapun, yang dapat menjadi pendiri dan pemilik BPR adalah Warga Negara Indonesia atau WNIBadan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya WNI dan/atau Pemerintah daerah Jika BHI diajukan menjadi calon PSP, harus telah beroperasi dalam jangka waktu sesuai POJK PKK. OJK dapat menetapkan jangka waktu operasional badan hukum yang berbeda, berdasarkan pertimbangan tertentu. Terakhir pihak yang bisa menjadi pemilik dan pendiri BPR adalah pemda. Dari sisi Bentuk badan hukum BPR dapat berupa Perusahaan Perseroan Daerah Perseroda atau Perusahaan Umum Daerah Perumda. Bentuk badan hukum keduanya termasuk bagi BPR berbadan hukum perusahaan daerah yang belum menyesuaikan menjadi Perumda atau Perseroda. Kemudian juga Koperasi dan/atau Perseroan Terbatas. BPR harus memiliki anggaran dasar yang memenuhi persyaratan anggaran dasar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan dan memuat pernyataan untuk Penambahan modal disetor yang mengakibatkan perubahan PSP;Perubahan kepemilikan saham yang mengakibatkan perubahan PSP; danPengangkatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris, berlaku setelah mendapatkan persetujuan dari yang belum memenuhi ketentuan terhadap modal disetor, wajib menyesuaikan cakupan anggaran dasar pada saat RUPS yang dilaksanakan pertama kali setelah berlakunya POJK. Modal disetor harus ditempatkan dalam bentuk deposito pada bank umum atau BPR lain atas nama “Dewan Komisioner OJK pemegang saham dan/atau PSP BPR” dengan keterangan untuk pendirian BPR yang bersangkutan dan pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari OJK. Penempatan modal disetor dalam bentuk deposito dilakukan secara penuh sebesar jumlah modal disetor yang dipersyaratkan sesuai zona pada saat pengajuan permohonan persetujuan prinsip pendirian disetor pendirian BPR wajib digunakan untuk modal kerja paling sedikit 50%. Kegiatan Usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Dibandingkan dengan bank umum syariah, kegiatan operasional yang dapat dilakukan oleh BPR syariah lebih terbatas. Pasal 1 butir 4 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa BPR Syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. BPR yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selanjutnya diatur menurut Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Secara teknis BPR Syariah bisa diartikan sebagai lembaga keuangan sebagaimana BPR konvensional, yang operasinya menggunakan prinsip-prinsip syariah. Pada dasarnya, sebagai lembaga keuangan syariah BPR syariah dapat memberikan jasa-jasa keuangan yang serupa dengan bank-bank umum syariah. Dalam usaha anggaran dana masyarakat, BPR syariah dapat memberikan jasa-jasa keuangan dalam berbagai bentuk. Namun, dibandingkan dengan bank umum syariah, kegiatan operasional yang dapat dilakukan oleh BPR syariah lebih terbatas. Sebagai lembaga keuangan syariah pada dasarnya Bank Perkreditan Rakyat Syariah BPRS dapat memberikan jasa-jasa keuangan yang serupa dengan bank-bank umum syariah. Namun demikian, sesuai UU Perbankan No. 10 tahun 1998, BPR Syariah hanya dapat melaksanakan usaha-usaha sebagai berikut Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan kreditMenyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia, deposito berjangka, sertifikat deposito, dan atau tabungan pada bank lain. Hal yang Dilarang Dilakukan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah BPR bukan termasuk Bank Pencipta Uang Giral BPUG. Perbedaan mendasar antara Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, baik konvensional maupun Syariah adalah bahwa BPR bukan termasuk Bank Pencipta Uang Giral BPUG. Hal tersebut sesuai dengan larangan bagi BPR/BPRS untuk memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran yang tidak dapat dipisahkan antara larangan bagi BPR/BPRS untuk menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran. Pembatasan dalam layanan lalu lintas pembayaran sebagaimana yang diatur dalam UU Perbankan dan UU Perbankan Syariah merupakan larangan bagi BPR yang bukan merupakan Bank Pencipta Uang Giral BPUG untuk terlibat dalam proses giralisasi tersebut, mengingat pada saat awalnya lalu lintas giral hanya dilakukan melalui kliring di BI untuk Cek dan Bilyet Giro sebagai instrumen pembayaran yang dapat melakukan overdraft di bank. Berkenaan dengan hal tersebut, maka larangan bagi BPR/BPRS untuk memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran diberikan dalam 4 empat batasan aktivitas, yaitu Tidak dapat menerima giro dari nasabahTidak dapat menerbitkan cek atau bilyet giroTidak dapat mengikuti kliring cek atau bilyet giroSerta tidak dapat membuka rekening di BI untuk kepentingan kliring dan settlement BPR/BPRS diperkenankan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran secara langsung meskipun dengan kegiatan terbatas’ sebagaimana permintaan permohonan seperti transfer, Gerbang Pembayaran Nasional, dan BI-FAST. Pasalnya, hal tersebut akan mengaburkan fungsi BPR/BPRS sebagai non-BPUG berbeda dengan Bank Umum yang merupakan BPUG. Jasa lalu lintas pembayaran yang tidak bisa dilakukan oleh BPR/BPRS sesuai UU Perbankan dan UU Perbankan Syariah adalah jasa lalu lintas pembayaran yang dilakukan secara langsung tanpa perantara Bank Umum. Adapun BPR/BPRS tetap dapat menyediakan jasa lalu lintas pembayaran secara tidak langsung dengan membuka rekening atau bekerja sama dengan bank umum. Tips seperti BPR Konvensional, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah kegiatannya jauh lebih sempit dibandingkan kegiatan bank umum. Ini dikarenakan BPRS dilarang menerima simpanan giro, kegiatan valas, dan perasuransian. Sejarah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Bank Perkreditan Rakyat BPR dikenalkan pertama kali oleh Bank Rakyat Indonesia BRI pada akhir tahun 1977. Bank Perkreditan Rakyat BPR dikenalkan pertama kali oleh Bank Rakyat Indonesia BRI pada akhir tahun 1977. BRI yang mempunyai tugas sebagai Bank Pembina lembaga – lembaga keuangan lokal dalam lingkup tertentu seperti , Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Desa, Bank Pegawai dan bank – bank lain yang sejenisnya. Pada masa pembinaan yang dilakukan oleh BRI, seluruh bank tersebut diberi nama Bank Perkreditan Rakyat BPR. Menurut Keppres No. 38 tahun 1988 yang dimaksud dengan Bank Perkreditan Rakyat BPR adalah jenis bank yang tercantum dalam ayat 1 pasal 4 UU. No. 14 tahun 1967 yang meliputi bank desa, lumbung desa, bank pasar, bank pegawai dan bank lainnya. Dalam pakta tanggal 27 oktober 1988 Status hukum Bank Perkreditan Rakyat BPR pertama kali diakui, sebagai bagian dari Paket Kebijakan Keuangan, Moneter, dan perbankan. BPR adalah perwujudan dari beberapa lembaga keuangan, seperti Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai Lumbung Pilih Nagari LPN, Lembaga Perkreditan Desa LPD, Badan Kredit Desa BKD, Badan Kredit Kecamatan BKK, Kredit Usaha Rakyat Kecil KURK, Lembaga perkreditan Kecamatan LPK, Bank Karya Desa BKPD dan atau lembaga lain yang semacamnya. Sejak dikeluarkannya UU No. 7 tahun 1992 tentang Pokok Perbankan, keberadaan lembaga-lembaga keuangan tersebut status hukumnya diperjelas melalui izin dari Menteri Keuangan. Dalam perkembangannya muncul BPR yang berprinsip pada hukum tersebut diberi nama Bank Perkreditan Rakyat SyariahBPRS. BPR Syariah yang pertama kali berdiri adalah adalah PT. BPR Dana Mardhatillah, kec. Margahayu, Bandung, PT. BPR Berkah Amal Sejahtera, kec. Padalarang,Bandung dan PT. BPR Amanah Rabbaniyah, kec. Banjaran, Bandung. Pada tanggal 8 Oktober 1990, ketiga BPR Syariah tersebut telah mendapat izin prinsip dari Menteri Keuangan RI dan mulai beroperasi pada tanggal 19 Agustus 1991. Selain itu, latar belakang didirikannya BPR Syariah adalah sebagai langkah aktif dalam rangka restrukturisasi perekonomian Indonesia yang dituangkan dalam berbagai paket kebijakan keuangan, moneter, dan perbankan secara umum. Bank pembiayaan rakyat syariah adalah salah satu lembaga keuangan perbankan syariah, yang pola operasionalnya mengikuti prinsip–prinsip syariah maupun muamalah islam. BPR Syariah didirikan berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintah PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Tonton video berikut ini untuk mengetahui tips memilih asuransi rumah yang tepat! Hanya yang percaya Anda semua bisa punya rumah
Sharia compliance is the adherence of Islamic banks to Islamic rules or laws in muamalah and is one of the factors that differentiate it from conventional banks. Therefore sharia compliance is a fundamental principle in Islamic banking practices. Muamalah law, especially the economy, has a high degree of difference, so the sharia compliance standards in Indonesia refer to the Fatwa of the National Sharia Council-Indonesian Ulama Council DSN-MUI. This study aims to analyze the practice of sharia compliance in Islamic Rural Banks BPRS in Indonesia. The data analyzed is the assessment of the Sharia Supervisory Board DPS on the practice of BPRS for five years. The sample distribution covers all regions of Indonesia with 24 units of analysi with 46 respondenss. The data analysis used quantitative descriptive analysis and compared it with the DSN-MUI fatwa. This study's results indicate that the level of compliance with Islamic rural banks in Indonesia is, on average, excellent. Other findings show that, when viewed from the contract's practice, financing with a musyarakah contract has the highest level of sharia compliance compared to separate agreements. Meanwhile, the lowest sharia compliance is in the murabahah contract. This condition is influenced because Islamic banks often use the murabahah bil wakalah contract. The weakness of this contract lies in the procurement of goods by customers, often not accompanied by proof of purchase. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Jurnal MAPS Manajemen Perbankan Syariah 27 ANALISIS KEPATUHAN SYARIAH PADA BANK SYARIAH STUDI KASUS BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH Aini Maslihatin Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Riduwan Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta riduwan ABSTRACT Sharia compliance is the adherence of Islamic banks to Islamic rules or laws in muamalah and is one of the factors that differentiate it from conventional banks. Therefore sharia compliance is a fundamental principle in Islamic banking practices. Muamalah law, especially the economy, has a high degree of difference, so the sharia compliance standards in Indonesia refer to the Fatwa of the National Sharia Council-Indonesian Ulama Council DSN-MUI. This study aims to analyze the practice of sharia compliance in Islamic Rural Banks BPRS in Indonesia. The data analyzed is the assessment of the Sharia Supervisory Board DPS on the practice of BPRS for five years. The sample distribution covers all regions of Indonesia with 24 units of analysi with 46 respondenss. The data analysis used quantitative descriptive analysis and compared it with the DSN-MUI fatwa. This study's results indicate that the level of compliance with Islamic rural banks in Indonesia is, on average, excellent. Other findings show that, when viewed from the contract's practice, financing with a musyarakah contract has the highest level of sharia compliance compared to separate agreements. Meanwhile, the lowest sharia compliance is in the murabahah contract. This condition is influenced because Islamic banks often use the murabahah bil wakalah contract. The weakness of this contract lies in the procurement of goods by customers, often not accompanied by proof of purchase. Keywords Sharia Compliance, Islamic Banking, and Fatwa. ABSTRAK Kepatuhan syariah adalah ketaatan bank syariah terhadap aturan atau hukum islam dalam bidang muamalah, dan merupakan salah satu faktor yang membedakan dengan bank konvensional. Karenanya kepatuhan syariah menjadi prinsip yang sangat mendasar dalam praktik bank syariah. Hukum muamalah khususnya ekonomi memiliki tingkat perbedaan yang tinggi, sehingga standar kepatuhan syariah di Indonesia mengacu kepada Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia DSN-MUI. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis praktik kepatuhan syariah pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah BPRS di Indonesia. Data yang dianalisis merupakan penilaian Dewan Pengawas Syariah DPS terhadap praktik BPRS selama 5 tahun. Sebaran sampel meliputi seluruh wilayah Indonesia dengan 24 unit analisis dan 46 responden. Analisis datanya menggunakan analisis deskriptif kuantitatif dan membandingkannya dengan fatwa DSN-MUI. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan syariah BPRS di Indonesia rata-rata sudah sangat baik. Temuan lainnya menunjukkan jika dilihat dari praktik akadnya, maka pembiayaan dengan akad musyarakah memiliki tingkat kepatuhan syariah paling tinggi dibanding dengan akad lainnya. Sedangkan kepatuhan syariah paling rendah terdapat pada akad murabahah. Kondisi tersebut dipengaruhi karena bank syariah masih sering menggunakan akad murabahah bil wakalah. Kelemahan akad Jurnal MAPS Manajemen Perbankan Syariah 28 tersebut terletak pada pengadaan barang oleh nasabah yang sering tidak diikuti dengan bukti pembelian. Kata Kunci Kepatuhan Syariah, Bank Syariah dan Fatwa. 1. Pendahuluan Latar Belakang Masalah Indonesia dengan penduduk muslim yang sangat besar, merupakan pasar yang potensial bagi industri keuangan syariah Riduwan, 2019. Dengan membawa selogan keagamaan, pemasaran bank syariah akan lebih mudah diterima oleh umat islam. Pasar emosional terutama factor agama menjadi instrumen sangat penting dalam memasarkan produk bank syariah, teruma kepada konsumen muslim Pour, et al. 2013. Konsumen muslim menghendaki adanya kepatuhan syariah pada bank syariah yang menyeluruh, tidak sebatas formalitas dan tidak hanya pada aspek kelembagaan tetapi juga individunya Ireland, 2018. Bank syariah diyakini menjadi solusi yang baik dalam system ekonomi dan keuangan baik dalam skala makro maupun mikro Ashraf et al., 2015. Peran bank syariah dalam stabilisasi sector keuangan menjadi bukti bahwa bank syariah memiliki skema keuangan makro yang dapat menyelamatkan ekonomi nasional. Karenanya bank syariah dituntut mampu menampilkan fungsi makro dengan baik, sehingga system ekonomi makro islam dapat diterapkan dengan baik. Sedangkan dalam ranah mikro, dimana banyak usaha mikro dan kecil yang terjerat rentenir karena tidak memiliki akses yang proporsional terhadap sumber pendanaan, menjadi lebih berkembang karena fasilitasi bank syariah Riduwan, 2019. Karenanya bank syariah memiliki peran yang sangat siknifikan dalam pengembangan ekonomi nasional. Syariah sebagai sebuah ajaran atau syariat, tidak saja menjadi selogan marketing untuk menarik minat konsumen, tetapi mestinya menjadi bagian yang integrative dengan seluruh aktifitas bank syariah Thaib, 2008. Bahkan implementasi syariah tidak saja hadir diruang public yakni pada saat bekerja, tetapi juga diruang privat dalam bentuk kesalihan individu disegala situasi dan kondisi Iqbal, 2011. Artinya secara kelembagaan dan personal praktik syariah menjadi kebutuhan yang sangat penting Iqbal dan Mirakhor, 2008. Implementasi prinsip syariah pada bank syariah menjadi salah satu factor sangat penting bagi konsumen muslim dalam memilih produk keuangan. Awan dan Bukhari, 2011. Penelitiannya menunjukkan jika konsumen muslim memiliki keyakinan bahwa menggunakan bank syariah bagian dari upaya melaksanakan keyakinan. Oleh karenanya kepatuhan syariah menjadi kunci dalam memasarkan produk perbankan syariah Ilhami, 2009. Cara ini menjadi model dalam pendekatan pemasaran karena terjadinya perbedaan nilai de Mooji dan Hofstede, 2020. Penelitian yang dilakukan oleh Riduwan 2019, tentang Sistem Pembiayaan Mudarabah; Analisis Kepatuhan Syariah dan Risiko menunjukkan jika kepatuhan syariah masih bersifat formalitas atau sebatas pada aspek akad. Sedangkan temuan penelitian Abbas dan Ali 2019 menunjukkan jika kepatuhan syariah bagi karyawan baru sebatas syarat untuk menjadi pegawai bank syariah di Pakistan. Karenanya dalam penelitiannya merekomendasikan supaya kepatuhan syariah menjadi landasan utama baik pada ranah kelembagaan maupun personaliti. Penelitian Hekmatyar dan Parkar 2018 menemukan pentingnya pedoman standar kepatuhan syariah dalam praktik keuangan syariah. Selanjutnya penelitiannya mendorong supaya penggunaan standar Syariah dari Accounting and Auditing Organization for Islamic Institution AAOIFI, dijadikan rujukan dalam implementasi kepatuhan syariah. Kepatuhan syariah pada bank syariah dilakukan oleh semua unsur manajemen dan karyawan, baik dalam ranah operasional bank syariah maupun dalam praktik kehidupan keseharian Ilhami, 2009. Implementasinya dimulai dari proses penyusunan rencana bisnis Jurnal MAPS Manajemen Perbankan Syariah 29 seperti visi, misi dan penetapan tujuan, pembuatan standar peraturan sampai implementasi akad pembiayaan dan tabungan. Artinya bahwa kepatuhan syariah melingkupi semua kegiatan bank syariah baik dalam ranah menajemen maupun individunya. Praktik syariah tersebut perlu mendapat pengawasan yang memadai, supaya nilai konsistensinya tetap terjaga Rosly, 2011. Pengawasan syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan OJK. DPS menjadi garda terdepan dalam mengawal implementasi syariah pada bank syariah. Penyimpangan terhadap syariah oleh personal maupun manajemen bank syariah merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap prinsip manajemen bank syariah dan meningkatkan risiko Ali, 2013. Kedudukan DPS dalam perbankan syariah merupakan perwakilan DSN-MUI yang ditempatkan pada bank syariah Abidin, 2011. Karenanya DPS memiliki otoritas yang sangat kuat dalam melakukan pengawasan syariah Nomran, et al., 2016. Pengawasan yang dilakukannya meliputi semua aktifitas perbankan baik dalam penyusunan peraturan, produk baru maupun implementasi fatwa terhadap produk bank syariah yang sudah ada. DPS dituntut bekerja dengan obyektifitas yang lebih tinggi dalam pengawasan bank syariah Ilhami, 2009. Karena DPS bagain dari pihak terkait dengan bank syariah, maka independensi dan obyektifitas tersebut masih banyak yang meragukan Mardian, 2015. Oleh karenanya profesionalis sebagai pengawas syariah sangat penting. DPS dengan kompetensi yang memadai, yang akan mampu bekerja dengan baik. Sifat hukum ekonomi syariah yang lebih banyak persoalan khilafiah, membuat pemerintah berkepentingan membuat standarisasinya. Dewan Syariah Nasional-Majelis Utama Indonesia DSN-MUI, merupakan lembaga yang diberikan kewenangan khusus untuk menetapkan fatwa ekonomi dan keuangan syariah dan menjadi rujukan utama dalam praktik syariah pada semua lembaga keuangan syariah di Indonesia Prabowo dan Jamal, 2016. Kedudukan fatwa DSN-MUI dalam praktik ekonomi dan keuangan syariah merupakan sumber hukum tertinggi dan menjadi dasar penilaian DPS terhadap praktik syariah pada lembaga keuangan syariah Mardian, 2015. Fatwa tersebut bersifat mengikat, artinya menjadi kewajiban bagi lembaga keuangan syariah untuk tunduk pada fatwa Waluyo, 2016. DPS berwenang menyatakan opini tidakpatuhan syariah, jika ada lembaga keuangan syariah yang praktiknya menyimpang dari fatwa DSN meskipun mungkin menurut pendapat sebagian ulama diperbolehkan. Laporan tahunan DPS menjadi fakta hukum tentang praktik syariah artinya hasil pengawasan sangat mempengaruhi opini public dan memiliki dampak langsung terhadap kepercayaan masyarakat Suprayogi, 2007. Oleh karena itu, manajemen bank syariah mesti berupaya menerapkan kepatuhan syariah dengan baik, supaya opini syariahnya juga tersaji dengan baik dan meningkatkan kepercayaan konsumen. Penelitian ini akan menganalisis praktik kepatuhan syariah pada BPRS di Indonesia selama 5 tahun, dengan tujuan mendapatkan hasil tentang implementasi syariah berdasarkan fatwa DSN-MUI. Rujukan dari pendapat ulama diluar fatwa DSN-MUI tidak digunakan untuk menghindari terjadinya bias kesimpulan. Selanjutnya juga akan menganlisis apakah kepatuhan syariah sudah menyeluruh sampai kepada kehidupan pribadi pegawai bank syariah. Kebaruan dalam penelitian ini yaitu ditemukannya perbedaan tingkat kepatuhan syariah pada akad pembiayaan BPRS. Pelaksanaan akad pembiayaan yang seringkali menjadi obyek pemeriksaan dan pengawasan oleh DPS memiliki tingkat kepatuhan syariah yang berbeda karena perbedaan tingkat kerumitannya. Murabahah yang memiliki portofilio paling tinggi, ternyata memiliki kepatuhan syariah yang paling rendah. Jurnal MAPS Manajemen Perbankan Syariah 30 Landasan Teori Kepatuhan Syariah Kepatuhan syariah merupakan ketaatan bank syariah terhadap hukum Islam dan aturan turunannya. Menurut Ali 2013 merupakan ketaatan dan kesesuaian system keuangan syariah dengan prinsip syariah, yang dasarnya digali dari sumber utama yakni al qur’an dan hadis serta ijtihad pada ahli fikih, dalam bentuk ijma seperti qiyas, istihsan, istishab dll. Syariah yang dimaksud merupakan hokum islam yang bersumber dari al qur’an dan sunah serta kesepakatan ahli fikih dalam hal tidak ditemukan langsung dari sumber utamanya Khanam dan Ullah, 2014. Karenanya bank syariah pengembangan fungsi bank syariah wajib mengacu kepada standar hokum islam tersebut Abbas dan Ali, 2019. Industri keuangan merupakan sektor bisnis yang memiliki tingkat risiko paling tinggi dibanding dengan industri lainya Ahmed, 2008. Oleh sebab itu, lembaga keuangan harus menerapkan prinsip kehatian-hatian yang lebih besar. Salah satu prinsip tersebut adalah diterapkannya kepatuhan syariah yang melekat inhern dengan aktifitas bisnis Abduh, 2012. Kepatuhan terhadap prinsip syariah dimungkinkan mampu mencegah terjadinya penyalahgunaan dana dan praktik bisnis yang menimbulkan eksploitasi terhadap pihak lain Rahman, 2008. Prinsip ini sekaligus dapat membuktikan bahwa nilai-nilai Islam dapat dipraktikkan dalam bisnis dan mampu menjaga bahkan meningkatkan keberlangsungan usaha sustainibilitas lembaga keuangan syariah Ali, 2013. Kepatuhan syariah berarti ketaatan dan kesesuaian praktik bisnis dengan prinsip-prinsip syariah, Ullah, 2014, yang dalam bisnis keuangan syariah berarti semua transaksi keuangan harus mematuhi dan sesuai dengan hukum Islam Rosly, 2011. Yang dimaksud dengan hukum Islam yaitu kumpulan norma-norma atau hukum syarak yang mengatur tingkah laku manusia dalam berbagai dimensi hubungannya, baik hukum-hukum itu diterapkan langsung di dalam Al Qur’an dan Sunah Nabi SAW maupun yang merupakan hasil ijtihad, yaitu interpretasi dan penjabaran oleh para ahli hukum Islam fukaha terhadap kedua sumber tadi Anwar, 2010. Kepatuhan syariah yang dijalankan pada industri keuangan syariah merupakan upaya prefentif untuk memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem dan prosedur serta kegiatan usaha yang dijalankan oleh bank syariah telah sesuai dengan ketentuan bank Indonesia, fatwa DSN MUI dan peraturan perundang-undangan yang berlaku Mardin, 2015. Karenanya fatwa dari pihak yang memiliki otoritas menjadi acuan utama bagi industry keuangan syariah, Hamza, 2013. Selain itu, pihak yang memiliki otoritas juga memiliki kewenangan pengawasan atas pelaksanaan dari fatwa tersebut Alam, et al., 2020. Secara umum fungsi dasar kepatuhan syariah untuk memastikan bahwa operasional lembaga keuangan syariah telah memenuhi ketentuan syariah Iqbal, 2011. Kepatuhan syariah merupakan upaya prefentif untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan syariah Rustam, 2013. Standar kepatuhan syariah secara nasional mengacu kepada fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia DSN MUI dan secara internasional mengacu kepada ketentuan Islamic Financial Services Board IFSC. Kepatuhan syariah merupakan bagian penting dari manajemen risiko pada bank syariah Ismal, 2010. Cakupan kepatuhan syariah tidak saja menyangkut implementasi dari akad-akad yang diterapkan tetapi lebih jauh sampai pada upaya mewujudkan maqashid syariah, Barlinti dan Dewi, 2012. Bank syariah memiliki tanggungjawab yang besar dalam mewujudkan konsep maqashid syariah, Hamza, 2013, sehingga pertumbuhan dan aktifitasnya tidak hanya diukur dari performance keuangan tetapi juga nilai manfaat bagi kehidupan secara luas Thaib, 2008. Untuk memastikan kebijakan, prosedur, produk, dan layanan telah sesuai dan tunduk pada ketentuan syariah, maka pada bank syariah terdapat struktur organisasi yang memiliki kewenangan khusus pengawasan syariah Iqbal dan Mirakhor, 2008. Model pengawasan syariah di Indonesia dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah DPS. DPS merupakan bagian DSN MUI yang ditempatkan pada setiap bank syariah termasuk BPRS Waluyo, 2016. Tugas Jurnal MAPS Manajemen Perbankan Syariah 31 utamanya adalah untuk memastikan bahwa bank syariah tersebut telah memenuhi ketentuan dan fatwa DSN Fahrunnas, 2018. Dalam kerja pengawasan syariah, DPS senantiasa mengacu pada fatwa DSN MUI Prabowo dan Jamal, 2016. Fatwa ini mengikat kepada semua lembaga keuangan syariah di Indonesia Waluyo, 2016. Efektifitas pengawasan syariah mempengaruhi kepatuhan syariah Ahmed, 2012. Oleh karena itu, anggota DPS harus memiliki kapasitas keilmuan dan kompetensi serta komitmen yang kuat untuk mewujudkan tata kelola bank syariah, sehingga memenuhi standar kepatuhan syariah Wahid, 2016. Maqashid Syariah Maqashid merupakan bentuk jamak dari maqshid yang berarti tujuan atau prinsip Auda, 2008. Sedangkan yang dimaksud dengan maqashid dalam hukum Islam adalah tujuan dibalik hukum Islam. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Auda 2008, “Maqashid of the Islamic law are the objective or purposes behind Islamic rulling. Atau pengembangan dari makna maqashid mencakup, “These expansions of the scope of maqashid allow of them to response to global issues and concern and to evolve from wisdoms behind the rulling”. Dalam disiplin ilmu ushul fikih, maqashid syariah menempati urgensitas tersendiri dibanding dengan disiplin ilmu lainnya Sarif dan Ahmad, 2017. Para ilmuwan muslim harus menguasai maqashid syariah dalam berijtihad guna merespon perkembangan ekonomi global dan regional. Sehingga bisa disebutkan jika maqshid syariah merupakan inti terpenting dari ilmu ushul fikih. Karena maqashid syariah dirumuskan oleh para ulama dengan mengambil dalil utama Al Qur’an dan as sunah, maka sering pula maqashid syariah disebut dengan sari pati Al Qur’an dan Sunnah Minka, 2013. Maqashid syariah merupakan inti dari totalitas ajaran Islam dan menempati posisi yang paling tinggi dibanding dengan ketentuan teks-teks syariah apabila teks tersebut berdiri sendiri dan bersifat parsial Auda dalam Al Ghazali, 2008. Khalaf 1994, dalam kitab Ushul Fiqh nya menegaskan bahwa nash-nash Al Qur’an tidak dapat dipahami dengan tepat dan benar kecuali oleh seseorang yang memahami maqashid syariah dan asbabun nuzul latar belakang atau historisitas turunnya ayat. Keberhasilan penggalian hukum ekonomi Islam dari dalil Al Qur’an dan as Sunnah sangat ditentukan oleh pengetahuan yang baik tentang maqashid syariah Riduwan, 2019. Maqashid syariah tidak saja menjadi faktor paling menentukan dalam berijtihad untuk melahirkan produk-produk hukum ekonomi Islam untuk mewujudkan kemaslahatan umat, tetapi lebih dari itu dapat memberikan dimensi filosofis terhadap produk hukum ekonomi Islam yang lahir dari aktifitas ijtihad ekonomi Islam kontemporer Ahmed, 2014. Dinamisasi ekonomi dalam perspektif global mengalami percepatan yang sangat tinggi dan ini berarti menjadi tantangan yang sangat besar bagi ahli hukum Islam untuk merespon dan merumuskan perangkat hukumnya Toufik, 2015. Upaya ijtihad dalam kompleksitas dan dinamisasi ekonomi kontemporer membutuhkan pemahaman yang mendalam terhadap maqashid syariah. Minka, 2013. Pemahaman maqashid syariah tidak bisa berdiri sendiri tetapi harus bertitik tolak dari penguasaan dan pemahaman yang baik terhadap berbagai disiplin ilmu yang bertautan, seperti falsafah hukum Islam, tarikh tasyri’, ulumul qur’an, ulumul hadis, qawaid fiqiyah dan ilmu lain yang terkait dengan bidang ijtihadnya. Pendekatan maqashid syariah dilaksanakan untuk memastikan bahwa praktik ekonomi Islam mampu memberikan manfaat dan sekaligus menghindarkan terjadinya kerugian atau mafsadah/mudharat Zuhaili, 1986. Karenanya perumusan hukum ekonomi Islam bertujuan untuk tercapainya kemaslahatan umat. Pendekatan maqashid syariah dalam melihat impelementasi kepatuhan syariah pada bank syariah dapat menghindarkan bank syariah dari praktik yang dhalim seperti riba, gharar dan ikhtikar Suwailem, 2000. Peneltian ini karena bersifat kualitatif, maka hasil penelitian sebelumnya menjadi landasan yang penting dalam menarik kesimpulan. Fatwa DSN-MUI merupakan sumber kajian Jurnal MAPS Manajemen Perbankan Syariah 32 utama sedangkan hasil penelitian sebelumnya menjadi rujukan dalam penyimpulan ataa data yang berhasil dikumpulkan. 2. METODOLOGI Populasi dan Sampel Penelitian ini merupakan penelitian lapangan field research, dengan pendekatan kualitatif, yakni penelitian yang digunakan untuk mengungkapkan gejala secara utuh dan kontekstual melalui pengumpulan data dari latar alami sebagai sumber langsung atau primer dengan instrumen kunci penelitian itu sendiri Ahmad, 2009. Populasi penelitian adalah seluruh BPRS yang ada di Indonesia sebanyak 58 lembaga, yaitu BPRS yang menyalurkan pembiayaan dengan semua akad. Terdapat 58 BPRS yang telah menyalurkan pembiayaan dengan akad mudarabah, musyarakah, murabahah, istisna, ijarah, multijasa, wakalah dan qard. Penarikan sampel dilakukan dengan model purposive sampling dengan mempertimbangakan keterwakilan wilayah dan kesanggupan memberikan data. Dari populasi tersebut terdapat 24 BPRS yang bersedia diteliti dan merata disemua wilayah di Indonesia baik dari Sumatera, Jawa, Sumbawa dan Sulawesi. Dengan sampel tersebut berarti sampel dinyatakan representatif karena terdapat 41,4% dari jumlah populasinya. Sedangkan jumlah responden sebanyak 46 orang pengawas syariah pada masing-masing sampel. Responden dinyatakan tepat karena merupakan pihak yang memiliki kewenangan dalam menentukan kepatuhan syariah. Data dan Analisis Data yang dianalisis merupakan data primer dan skunder. Data primer adalah jawaban responden atas pertanyaan melalui kuisioner dan pendalaman melalui wawancara dengan DPS, dimana setiap BPRS diwakili oleh seorang DPS. Sedangkan data skunder merupakan hasil penilaian DPS terhadap operasional BPRS selama lima tahun yang dilaporkan dalam setiap Rapat Umum Pemegang Saham RUPS. Data skunder juga lebih banyak melihat praktik pembiayaan dan operasional BPRS. Sedangkan analisis datanya menggunakan deskriptif kuwantitatif. Jawaban dari responden dibuat tabulasi dengan membuat nilai rata-ratanya yang tertinggi. Kemudian dibandingkan dengan fatwa DSN-MUI. Proses pengolahan data dimulai dari editing, klasifikasi, ferifikasi dan interpretasi. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menganalisis teori, fatwa dan praktik syariah pada BPRS. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Data dari jawaban responden dapat dinyatakan bahwa 82,7% BPRS telah menjalankan syariah dengan baik. Artinya praktik syariah pada BPRS telah memenuhi standar fatwa DSN-MUI. Penilaian syariah yang dimaksud tidak saja menyangkut aspek akad pembiayaan tetapi juga operasional bank syariah. Dari data tersebut, DPS pada umum memiliki keyakinan jika manajemen BPRS telah berusaha menjalankan prinsip syariah dengan benar Jumansyah dan Wirman, 2009. Sedangkan dari aspek operasional seperti manajemen sumber daya manusia, penyusunan rencana bisnis, praktik ibadah serta layanan kantor dan nasabah juga menunjukkan adanya praktik yang sudah baik. Hasil analisis terhadap data responden menunjukkan bahwa 81,6%, responden menyatakan jika operasional BPRS telah sesuai dengan syariah. Pengawasan DPS terhadap operasional BPRS dilakukan mulai dari penyusunan Rencana Bisnis Bank Syariah RBB, sampai pada tahap implementasinya Ilhami, 2009. DPS juga menilai praktik ibadah para pegawai BPRS dan hasilnya menunjukkan jika praktik ibadah pada umumnya telah berjalan dengan baik. Pengawasan yang dilakukan dalam implementasi akad pembiayaan, menunjukkan sebesar 80,7% responden menyatakan akad musyarakah memiliki tingkat kepatuhan syariah Jurnal MAPS Manajemen Perbankan Syariah 33 yang paling tinggi disbanding dengan akad lainnya. Sedangkan sebanyak 76,3% respondengan menyatakan jika akad murabahah merupakan akad yang tingkat kepatuhan syariahnya paling rendah. Rendahnya kepatuhan syariah pada akad murabahah karena BPRS lebih memilih akad murabahah bil wakalah. Kelemahan atau titik kritis murabahah bil wakalah terletak pada proses wakalahnya. BPRS dalam praktiknya merasa kesulitan untuk mengadakan barang sendiri sebelum kemudian dijual kembali kepada nasabahnya. Oleh karenanya BPR mewakilkan nasabah untuk mengadakan barang. Pengadaan barang oleh nasabah wajib dilakukan sebelum akad murabahah ditandatangani dan bukti pembelian barang diserahkan kepada bank syariah. Namun dalam praktiknya, bukti pembelian barang sering tidak diserahkan dan petugas bank syariah tidak melakukan pengecekan barang. Praktik tersebut yang dinilai oleh DPS masih belum sesuai dengan syariah. Hasil penelitian ini akan membawa implikasi yang kuat baik pada ranah teori maupun praktis. Implakasi teori ditunjukkan dengan ada fatwa yang menyebabkan akad tersebut memiliki peluang ketidakpatuhan yang tinggi, seperti pada akad murabahah bil wakalah. DSN perlu melalukan peninjauan ulang terhadap akad tersebut untuk meminimalisir praktik yang menyimpang. Sedangkan implakasi praktis bagi BPRS khususnya atau bank syariah pada umumnya menyangkat prinsip kehati-hatian yang semakin tinggi dalam pelaksanaan prinsip kepatuhan syariah. 4. PENUTUP Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada umumnya manajemen dan personaliti BPRS telah menjalankan prinsip syariah dengan baik. Operasional bank syariah dan praktik akad pembiayaan telah sesuai dengan prinsip syariah. Disamping itu, secara personal, pegawai BPRS juga telah menjalankan prinsip syariah dengan baik. Fakta tersebut sekaligus menunjukkan ketercapaian maqashid syariah. Temuan lain juga menyatakan jika pembiayaan dengan akad musyarakah memiliki tingkat kepatuhan syariah yang lebih tinggi dibanding dengan akad yang lain. Sedangkan pembiayaan dengan akad murabahah memiliki tingkat kepatuhan syariah yang paling rendah. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh akad murabahah bil wakalah yang sering dipraktikkan. Kelemahan akad tersebut terletak pada pengadaan barang yang diwakilkan kepada nasabah. Bank syariah memberikan kepercayaan yang tinggi kepada nasabah untuk membeli barang sendiri, sehingga masih terjadi pelanggaran prinsip syariah seperti penyalahgunaan akad wakalah atau bukti pembelian tidak diserahkan. Penelitian selanjutnya disarankan untuk menganalisis kepatuhan syariah tidak sebatas dari penilaian DPS tetapi juga melihat kapatuhan syariah dari perspektif nasabah. Penilaian nasabah menjadi penting karena mereka bagian penting dari bank syariah. Nasabah sebagai pengguna produk BPRS memiliki perspektif yang mungkin berbeda dengan DPS. DAFTAR PUSTAKA Abbas., MH dan Ali, H., 2019, An Empirical Study of Shariah Compliance in Islamic Banks of Pakistan, Journal of Islamic Finance, 82, 21-30. Abduh, MZ. 2012, Bank Customer Clasification in Indonesia Logistic Regression Vis a Vis Artificial Neural Networks, World Apllied Science Journal, 187, 933-938. Abidin, 2011, Pengawasan Perbankan Syariah; Studi Pemikiran M. Syafii Antonino, Jurnal Maliyah, 32, 78-94. Ahmad, T., 2011, Metodologi Penelitian Praktis, Yogyakarta, Teras. Jurnal MAPS Manajemen Perbankan Syariah 34 Ahmed, H., 2014, Islamic Banking and Sharia Compliance A Product Development Perspective, Journal of Islamic Finance, 32, 15-29. Alam, et al., 2020, The Reason Behind the Absence of Comprehenesive Sharia Governance Framework of Islamic Bank in Bangladesh, International Journal of Economic and Business Administration, 81, 134-145. Anwar, Sy. 2007, Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang Teori Akad”, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Ashraf, S., et al, 2015, Consumer Trust and Confindence in the Compliance of Islamic Banks, Journal of Financial Service Marketing, 202, 133-144. Awan, dan Bukhari 2011, Customers Creteria for Selecting an Islamic Bank Evidence from Pakistan, Journal of Islamic Marketing, 21, 14-27. Barlinti, dan Dewi 2012, Should National Sharia Board be Restructured to Sustain the Development Ecobomic Sharia in Indonesia, Indonesian Journal International Law, 97, 583-596. De Mooji, M. dan Hofstede, G., 2002, Convergence dan Divergence in Consumer Behavior; Implication for International Retailing, Journal of Retailing, 78 2, 61-90. Fahrunnas, F. 2018, Fatwa on the Islamic Law Transaction and Its Role in the Islamic Financial Ecosystem, Al Tijarah, 41, 42-53. Hamza, H., 2013, Sharia Governance in Islamic Banks Effectiveness and Supervision Model, International Journal of Islamic and Milde Eastern Finance and Management, 63, 226-237. Hekmatyar, dan Parkar, E., 2018, An Evaluation of Dana Gas’s Mudarabah Sukuk from Shariah and Legal Perspective, European Journal of Islamic Finance, 24, 1-9. Ilhami, H., 2009, Pertanggungjawaban Dewan Pengawas Syariah sebagai Otoritas Pengawas Kepatuhan Syariah bagi Bank Syariah, Jurnal Mimbar Hukum, 213, 409-628. Iqbal, M. dan Molyneux, P., 2005, Therty Years of Islamic Banking History, Performance and Prospect, Palgrave Macmilan, New York. Iqbal, Z. dan Mirakhor, A., 2004, “A Stakeholders Model of Corporate Governance of Firm in Islamic Economic System”, Islamic Economic Studies, 11 2 43-63. Ireland 2018, Just How Loyal are Islamic Banking Customers?, International Journal of Bank Marketing, 1-16. Jumansyah dan Wirman, 2009, Analisis Penerapan Good Coroporate Governance Business Syariah dan Pencapaian Maqashid Syariah Bank Syariah di Indonesia, Jurnal Al Azhar Indonesia, Seri Pranata Sosial, 21. Khalaf, 1994, Ilmu Ushul Fiqh, Alih Bahasa Muhammad Zuhri dan Ahmad Qarib, Semarang, Dina Utama. Khanam, R., dan Ullah. H., 2019, Shariah Compliance in Islamic Banks-Whay dan How? Global Journals Inc, USA, 146, 9-20. Lutfinanda, A. dan Sinarasri, A., 2014, Analisis Pengaruh Pengungkapan Syariah Compliance terhdap Kepatuhan Syariah Perbankan Syariah, Studi Kasus BPRS di Kota Semarang, Jurnal Maksimum, 41, 23-28. Mardian, S., 2015, Tingkat Kepatuhan Syariah di Lembaga Keuangan Syariah , Jurnal Akuntansi dan Keuangan Islam, 31, 1-11. Minka, A., 2013, Maqashid Syariah dalam Ekonomi dan Keuangan Syariah, Jakarta, Iqtishad Publishing. Nomran, et al., 2016, Shariah Supervisory Boards Characteristics Effect on Islamic Banks Performance; Efidence from Malaysia, International Journal of Bank Marketing, 26, 1-9. Jurnal MAPS Manajemen Perbankan Syariah 35 Pour, BS. et al. 2013, “The Effect of Marketing Mix in Attracting Customer Case Study of Saderat Bank in Kermanshah Province”, African Journal of Business Management, Vol. 734, 3272-3280. Prabowo, Dan Jamal, 2016, Peranan Dewan Pengawas Syariah terhadap Praktik Kepatuhan Syariah dalam Perbankan Syariah di Indonesia, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 13, 113-129. Rahman, 2008, Sharia Audit for Islamic Financial Services, The Needs and Challenges, ISRA, Islami Financial Seminar, Kuala Lumpur. Riduwan, 2019, Sistem Pembiayaan Mudarabah pada Bank Syariah Analisis Terhadap Kepatuhan Syariah dan Risiko, Disertasi pada UII Yogyakarta. Ridwan, M. 2017, Implementasi Syariat Islam, Telaah Praktik Ijtihad Umar Bin Khatab, Tsaqafah Jurnal Peradaban Islam, 132, 353-368. Sarif, A. dan Ahmad, R., 2017, Konsep Maslahat dan Mafsadah Menurut Imam Ghazali, Tsaqafah Jurnal Peradaban Islam, 132, 353-368. Suwailem, S., 2000, Towards an Objective Maesure of Gharar in Exchange, Islamic Economic Studies, 71&2, 61-102. Toufik, 2015, The Role of Shariah Supervisory Board in Ensuring Good Corporate Governance Practice in Islamic Banks, International Journal of Contemporary Applied Science, 22, 109-119. Ullah, H., 2014, Shariah Compliance in Islamic Banking An Empirical Study on Selected Islamic Banks in Bangladesh, International Journal of Islamic and Midle Eastern Finance and Management, 72, 182-199. Wahid, 2016, Pola Transformasi Fatwa Ekonomi Syariah DSN-MUI dalam Peraturan Perudang-Undangan di Indonesia, Jurnal Ahkam, 42, 171-198. Waluyo A., 2016, Kepatuhan Bank Syariah terhadap Fatwa Dewan Syariah Nasional Pasca Transformasi ke dalam Hukum Positif, INFERENSI Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 102, 517-538. Zuhaili, W., 2011, Fiqul Islam wa Adillatuhu, Terjemahan Abdullah Syafii Al Kattani Jakarta, Gema Insani. ... Research by Illahi 2019, Maslihatin & Riduwan 2020, and Faradila & Cahyati 2013 shows that Islamic banks carry out earnings management by increasing and decreasing profits to reduce reported earnings fluctuations so that the company looks stable and not high risk and avoids political attention. Maslihatin & Riduwan 2020 states that this is done by Islamic banks because customers are not ready for pure profit sharing fluctuations, this condition provides an opportunity for Islamic banks to perform income smoothing or profit sharing obtained in a certain period by backing it up and issuing the reserves under other conditions. ...... Research by Illahi 2019, Maslihatin & Riduwan 2020, and Faradila & Cahyati 2013 shows that Islamic banks carry out earnings management by increasing and decreasing profits to reduce reported earnings fluctuations so that the company looks stable and not high risk and avoids political attention. Maslihatin & Riduwan 2020 states that this is done by Islamic banks because customers are not ready for pure profit sharing fluctuations, this condition provides an opportunity for Islamic banks to perform income smoothing or profit sharing obtained in a certain period by backing it up and issuing the reserves under other conditions. when the profit sharing goes down. ...... Almost all of these methods use the discretionary accrual approach, except the Stubben model which focuses on discretionary income. However, in this study, the Eckel index is used because it is considered more capable of distinguishing Islamic banks that perform income smoothing and those that do not Hajjar et al., 2021;Illahi, 2019;Maslihatin & Riduwan, 2020. Various previous studies have also focused more on using the Eckel index in detecting income smoothing practices in Islamic banks. ...Rizkiana IskandarMuh. Syahru Ramadhan Mulyati MulyatiChairul AdhimSharia Bank is a bank conducting its business activities based on Islamic principles. Sharia bank as an institution based on the principles of Islam are not allowed to manipulate earnings and engineering activities in any form of earnings management is no exception in terms of financial reporting, which is a medium of information for its users. Income smoothing is an act of deliberate manipulation by management to profits fluctuate, which later reported that corporate profits are at levels considered normal. The purpose of this paper is to investigate the income smoothing practices in sharia banks in Indonesia and review of income smoothing practices according to Islamic business ethics. This study used 11 sharia banks BUS based on BUS list on Bank Indonesia's website as research object. To know a company is included in the income smoothing group or not, the Eckel index is used. Based on calculations using Eckel index, it can be concluded that 5 out of 11 sharia banks in Indonesia are indicated to practice income smoothing. However, the annual report of the five syariah banks indicated by the practice of income smoothing indicates that all opinions given by the Sharia Supervisory Board regarding operational activities and products or services provided by sharia banks to customers generally comply with the fatwa and sharia provisions issued by DSN- MUI. That is, the policy or practice of income smoothing in Islamic banks is not contrary to the principles of sharia and Islamic business ethics.... In addition, research by Othman and Owen 2003 states that the level of Sharia compliance also influences public trust in Islamic banks. Sharia compliance is not only in financing contracts but is also attached to each behavior of Islamic banks employees Maslihatin & Riduwan, 2020. Services based on Sharia values such as honesty, empathy, and good communication can increase public trust in Islamic banks Sangeetha & Mahalingam, 2011. ...The COVID-19 pandemic has negatively impacted the Islamic banking industry by increasing non-performing financing, decreasing savings, and weakening annual performance. This condition, if not anticipated, can lead to bankruptcy. Therefore, customers need to get the best service so that their loyalty is maintained even though the conditions of Islamic banks are difficult. This study analyses customer satisfaction toward Islamic banks services during the COVID-19 pandemic. The respondents are 308 customers. The sampling method uses purposive sampling, and the data processing uses the Customer Satisfaction Index CSI model. The results of this study indicate that customers are satisfied with Islamic banks' services. So, they are willing to recommend other parties to become bank customers, not transfer funds to other Islamic banks, will not move to conventional banks, and not withdraw deposits. However, this study has limitations because it has not included social performance as a factor that affects loyalty. In addition, most respondents are Muslim, so future research is recommended to analyze satisfaction by including these two factors. Furthermore, these findings provide value for policy implications and recommendations for Islamic banks and stakeholders to increase satisfaction and hasanah Nurul fitriani Kharis Fadlullah HanaNurul FitianiPenerapan kepatuhan syariah merupakan syarat mutlak yang harus dilaksanakan oleh Perbankan Syariah dengan menggunakan fatwa DSN MUI sebagai alat ukur kepatuhan terhadap prinsip Syariah. Namun, dalam prakteknya tidak semudah yang dibahas dalam teori, masih banyak kejadian yang rawan kesalahan syar’i. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kesesuaian penerapan Syariah Compliance pada produk pembiayaan KUR-Mikro BSI di Bank Syariah Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang mengambil informasi melalui wawancara. Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara dengan karyawan dan nasabah Bank Syariah Indonesia cabang Kudus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, Bank Syariah Indonesia telah memenuhi prinsip syariah, karena semua teransaksi dan kegiatan berdasarkan fatwa DSN MUI, dan diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah. Kedua, produk pembiayaan KUR-Mikro BSI sudah sesuai dengan prinsip syariah karena tidak semua usaha dapat dibiayai oleh BSI KUR-Mikro, tetapai hanya usaha yang berpotensi halal. Hasil ini memberikan rekomendasi bagi peneliti selanjutnya untuk menganalisis kepatuhan syariah tidak hanya dari penilaian karyawan dan nasabah, tetapi juga melihat kepatuhan syariah melalui Dewan Pengawas Syariah DPS secara langsung. Zulzaidi MahmodAhmad Hidayat BuangImplimentasi teknologi maklumat dalam institusi kehakiman syariah disambut baik oleh semua mahkamah syariah negeri di Malaysia melalui aplikasi sistem e-Syariah. Inovasi dan transformasi teknologi elektronik ini diteruskan oleh sebahagian mahkamah syariah termasuk mahkamah syariah di Sarawak yang membangunkan sistem baharu yang dinamakan i-Syariah, iaitu Sistem Pengurusan Pintar Syariah. Artikel ini bertujuan menganalisis pembangunan sistem Pengurusan Mahkamah Syariah melalui sistem e-Syariah pada peringkat Persekutuan dan i-Syariah yang diaplikasikan di Sarawak. Penelitian juga dilakukan terhadap modul yang dibangunkan dalam sistem e-Syariah dan i-Syariah bagi dapatan maklumat penyelidikan yang menyeluruh. Metodologi penyelidikan dilakukan secara kualitatif terhadap perkembangan pembangunan sistem e-Syariah dan sistem i-Syariah serta melaksanakan metode komparatif dengan membandingkan sistem yang diguna pakai di mahkamah sivil dengan kandungan sistem yang diaplikasikan di institusi kehakiman syariah. Penyelidikan ini mendapati bahawa transformasi teknologi elektronik mahkamah syariah kurang menunjukkan perkembangan berbanding mahkamah sivil yang telah mengaplikasi e-Filing system EFS, Case Management System CMS, Queue Management System QMS, Court Recording and Transcribing CRT, Artificial Intelligence AI dan Community and Advocate Portal System CAP. Walau bagaimanapun berdasarkan pelan pembangunan i-Syariah maka sistem-sistem yang diguna pakai pada peringkat mahkamah sivil ini akan diimplimentasikan di mahkamah syariah Sarawak untuk memastikan transformasi informasi teknologi maklumat seiring dengan perkembangan teknologi digital di The main objective of the study is to examine the reasons behind the absence Faaza FakhrunnasFatwa holds a pivotal role in determining the guidance of Islamic society especially in Islamic finance ecosystem. Moreover, fatwa will render the direction for Islamic finance and then it will impact to the stakeholders of Islamic finance ecosystem such as regulator, Islamic finance institution, investor, and the market performance. This paper will discuss about the role of fatwa on the Islamic law transaction and its effect to Islamic finance performance. By adopting content analysis as the method of the study, this paper finds that firstly there has several fatwa having any dispute among the Islamic scholars and Islamic fatwa institution such as sukuk nature, bay al-inah, the nature of interest, bay al-dayn, and screening methodology adopted by several indices. Secondly, the different fatwa issued by Islamic scholars and Islamic fatwa institution influence the performance of Islamic finance product in the market which affect the stakeholders of Islamic finance – Islamic banks IBs must stay Shari’ah compliant to enhance their customer loyalty and obtain a competitive edge. Given the performance of Shari’ah supervisory board SSB continues to be a matter of concern especially for IBs across countries that have a different regulatory environment, the purpose of this paper is to examine the effects of SSB characteristics on IBs’ performance in Malaysia being a country that applies the most extreme intervention of regulatory agencies pro-active model. Design/methodology/approach – A sample of 15 Malaysian IBs is used to test the study hypotheses for the period from 2008 to 2015 using the Generalized Method of Moments estimator. Findings – The results reveal strong support for a significant association between SSB size, doctoral qualification, change in the SSB composition and performance. In addition, the study supports the view that SSB with cross-membership and reputation is very important in improving the performance of IBs. Research limitations/implications – First, the paper focused only on Malaysia which adopts a pro-active model, and therefore, extending the investigation to include countries that adopt the different models may provide a better view of the best Shari’ah governance SG practices for IBs. Second, there is a need for more empirical analysis regarding the optimal SSB size of IBs. Practical implications – This paper provides empirical evidence for regulators and policy makers in Malaysia, to understand how to enhance the performance of IBs using SG. Furthermore, marketers of Malaysian IBs should focus on SG practices as an important element for attracting Muslim customers, especially as there is a lack in this aspect. Originality/value – To date, it seems there is no empirical study that has examined to what extent the impact of SSB characteristics on IBs performance can be affected by the degree of agencies intervention, whether extreme or slight. Malaysia has been chosen as the only country that adopts the most extreme model. Keywords Performance measurement, Malaysia, Banks, Banking industry, Islam Paper type Research paperMuhammad RidwanThe reason of writing this article is the problem and mistake come from the contemporary Muslim thinkers who made mas}lah}at as the only benchmark in Islamic law, they even assumed that mas}lah}at is more important than the sharia itself. From this they concluded that deconstructing sharia based on mas}lah}at is permissible. They built their argument on the basis of the ijtihâd done by Umar bin Khattab. At that time, Umar broke the law of hand cuts for theft, stoped giving zakat for the converts, and did not give the spoils land to the soldiers. In fact, according to contemporary Muslim thinkers, these three things have been determined in the Qur’an and Sunnah of the Prophet SAW. It means Umar bin Khattab’s ijtihâd is a breakthrough in liberal thinking. Umar dared to contrary what was established in the Qur’an and the hadith of the Prophet. Then, Umar is regarded as a fgure who has applied hermeneutic methods in Islamic law. This thought actually is a mistake. The contemporary thinkers only thought partially and did not discuss Umar’s ijtihâd thoroughly and deeply. By referring to earlier Muslim scholars, this article try to prove that Umar’ ijtihâd is an attempt to implement the Islamic Shari’a, despite elimiting or dismissing Islamic Shari’a itself as the above thinkers study investigated the impact of marketing mix in attracting customers to Saderat Bank in Kermanshah Province. Questionnaire which included 30 questions was used to collect information in this research. The reliability of the questionnaire was calculated using Cronbach's alpha, and a value of was obtained, greater than which is the reliability of the questionnaire. The population used in this study is the customers of Saderat Bank in Kermanshah Province, with at least one account, interest-free loans and savings. 250 questionnaires were collected by stratified random sampling. The work has one main hypothesis and 5 sub- hypotheses. Pearson correlation test was used to test the hypotheses. It was established that factors in the marketing mix have a significant positive effect in absorbing customers. That means the bank has a significant positive banks compete with traditional non-Islamic banks for customers. This article aims to provide insight into why some Muslims choose to bank with Islamic banks in Pakistan, while others do not. Specifically, it addresses the questions to what extent are trust and confidence active influencers in the decision-making process, are they differentiated or are they one of the same? Also how does the Pakistani collective cultural context further complicate the application of these concepts? For the purposes of this article trust refers to people and their interpersonal or social relations whereas confidence concerns institutions such as banks. Drawing on interviews with Muslim consumers in Pakistan, this study provides further insight into consumer behaviour within financial services and specifically Islamic banking and contributes to our theoretical understanding of the concepts of trust and confidence. John IrelandPurpose To determine the rate difference required to persuade Islamic banking customers to switch to conventional banks. Methodology A choice–based conjoint analysis survey was administered to 300 UAE Islamic banking customers. Customer utilities for Islamic and conventional banks, products and prices were developed to test hypotheses while a market simulation estimated the impact of rate changes on choice shares. Findings Overall, Muslim customers of Islamic banks strongly preferred Islamic banks and products. However, 43% were willing to switch to conventional banks to obtain better rates. Indeed, the share choosing conventional banks rose from 25% when rates were the same to 68% when conventional products offered 2% better rates. Implications/limitations This research requires replication and extension in appropriate contexts such as Malaysia and Indonesia. Moreover, the existence of price-sensitivity tiers implies underlying benefit segments that should be studied. Practical implications As so many Islamic banking customers would switch to conventional banks for better rates, it seems that conventional banks compete with Islamic banks for most clients. Islamic banks should price accordingly. Originality/value This is the first study to quantify the loyalty of Islamic banking customers in terms of price and, consequently, the first to demonstrate the existence of price sensitivity tiers. It is also the first in this field to apply conjoint analysis and market Agung PrabowoJasri Bin JamalThis research is to analyze the role of DPS Dewan Pengawas Syariah or Sharia Supervisory Board towards the practice of sharia obedience with the perspective of customer protection in sharia banking in Indonesia. This research adopted the analysis method based upon the doctrinal content by applying four types of legal approach including i history; ii Fiqh/philosophy; iii comparison and iv analysis and critical. In addition, the approach alignment is also needed for the legislative alignment with Islamic philosophy and customer protection philosophy. The result of the research concluded that any violation in sharia obedience neglected by DPS will negatively impact the image and credibility of sharia banking to public; thus, it can bring an impact on the public trust. For this reason, the roles of DPS in sharia banking needs to be optimized, for instance related to the qualification of DPS appointment must be tighter and the support to its roles must be realized in sharia banking. DSN MUI as an institution issuing the fatwa binding ruling can make the coordination and equalize the perception with the DPS posted in sharia banks in Indonesia in supervising the operation of sharia bank to make it really playing a role and ready to run its task as the WaluyoThe purpose of this research is to analize the Islamic Bank Commitment to implementation of fatwa Sharia National Board that has been transformed into positive law. The design of this study is qualitative approach. This field research using qualitative approach with data from interviews with the banks. The result shows that the fatwa related to Islamic banks that has been transformed into positive law can be used as a legal basis to be obeyed. The results showed that the Islamic Bank commitment to implementation of fatwa Sharia National Board has not been effective and efficient. The functions of sharia by the director of compliance to all employees of Islamic bank normatively has been implemented in accordance with the principles of compliance, the compliance culture, management risk, and the values. The role of Sharia Supervisory Board in sharia compliance monitoring system has been implemented but not optimal. Habib AhmedThe key difference between Islamic banks and their conventional counterparts is that the former abides by the principles of Islamic law Shari’ah. However, some Islamic banking products are criticized for not fulfilling the Shari’ah requirements as these closely mimic conventional products. The article discusses how traditional Islamic contracts are used to structure Islamic modes of financing during contemporary times. To understand the choice of financing modes used by Islamic banks, the product development process is examined and the role of Shari’ah related bodies in these institutions Shari’ah unit/department and Shari’ah supervisory board/committee in this process is outlined. The article contends that the choice of modes of financing used by Islamic financial institutions depend on external and internal factors. In some cases Islamic banks choose controversial modes of financing as these are the only ones that are feasible under the legal and regulatory regimes they operate under. In other cases the choice of inferior modes may result from competing internal organizational considerations whereby economic factors overshadow Shari’ah requirements. The article highlights the role of Shari’ah related bodies within a bank in ensuring Shari’ah compliance of products.
contoh bank pembiayaan rakyat syariah